- 8 Desember 2016
- Posted by: BMT Fastabiq
- Category: News
Ramadhan memang sudah berlalu. Keduanya meninggalkan hamba-hamba Allah yang lemah dan mudah alpa atau khilaf. Hamba-hamba Allah yang harus kembali berjuang mempertaruhkan ketakwaan yang sempat terjaga dan naik di bulan Ramadhan.
Karena ketakwaan di luar Ramadhan sepertinya sukar untuk meningkat, tapi sangat mudah jatuh terpuruk ke titik yang paling rendah. Bagaimana tidak? Tempat-tempat dan pelaku maksiat kembali beroperasi siang dan malam; ceramah dan tontonan Islami yang begitu gencar menghampiri kaum Muslimin di prime timesebagai media peningkat keimanan kini nyaris tak tersisa; suasana ibadah tidak lagi semarak, jamaah masjid kembali “maju” shafnya, walau untuk shalat maghrib dan isya sekalipun, apalagi untuk sholat subuh.
Selain itu, ukhuwah yang gampang kendur serta kedamaian yang mudah terusik karena hawa nafsu yang mudah terpancing tidak ada ada yang mengingatkan lagi dengan kata-kata ana shooimun. Hanya hamba-hamba Allah yang fitrah yang mampu menjawaga ketakwaannya, bukan saja untuk dirinya tetapi juga untuk masyarakat sekitarnya. Siapakah hamba-hamba Allah yang fitrah ini?
Prof Azyumardi Azra dalam khutbah Idul Fitri di Masjid Raya Jakarta Islamic Centre menjelaskan tentang hamba-hamba Allah yang fitrah ini dikaitkan dengan ukhuwah dan kedamaian. Ia menjelaskan bahwa kembali kepada “fitrah” (kesucian) setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadhan bersumber dari surah Ar-Rum ayat 30 yang artinya: “Maka hadapkanlah dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah pada) fitrah Allah yang telah menjadikan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Namun menurut dia, kembali kepada fitrah yang bersifat individual-personal belumlah cukup. Setiap Muslimin dan Muslimat yang telah kembali kepada fitrah atau kesuciannya berkewajiban memperluas kesucian itu ke tingkat sosial kemasyarakatan. Yaitu, dengan saling meminta dan memberi maaf satu sama lain, sehingga hubungan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah) dan sesama manusia (ukhuwah insaniyah) menjadi penuh kesucian. sebagaimana Allah swt. berfirman di Q.S. Al-Hujuraat ayat 10 yang artinya “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah antara kedaua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Jika ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah insaniyah terjalin dengan erat dan dengan penuh kesucian, maka akan tercipta kedamaian. Karenanya, masih menurut Prof.Azyumardi Azra, fitrah, ukhuwah dan kedamaian merupakan pilar-pilar utama bagi terwujudnya peradaban yang maju dan mulia.
Sebaliknya, jika ketiganya mengalami krisis atau hilang sama sekali, maka yang akan terjadi adalah kekacuan dan anarki yang mengakibatkan terganggunya kehidupan sehari-hari sehingga tidak memungkinkan terwujudnya peradaban umat-bangsa.
Namun menurutnya ada segelintir orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam yang dipastikan bukan termasuk golongan orang-orang yang fitrah apalagi menyukai ukhuwah dan kedamaian. Karena mereka kerap melakukan kekerasan dan terorisme, yakni aksi kekerasan yang tidak konvensional guna menciptakan rasa ketakutan meluas dalam masyarakat dan menimbulkan korban secara tidak pandang bulu (indiscriminate).
Di pengujung khutbah, Prof. Dr. Azyumardi Azra mengingatkan, jika kita ingin menjadi muslim atau muslimah yang fitrah, mari tanamkan rasa damai di dalam diri kita sendiri, jauhkan hawa nafsu kemarahan dan kebencian.
Sedangkan untuk berdamai dengan dirinya, setiap Muslim harus hidup damai dengan Allah SWT dengan sepenuhnya menyerahkan diri (taslim) kepada-Nya, meninggalkan hawa nafsu angkara murka, merasa paling benar sendiri, dan memaksa orang lain dengan kekerasan untuk tunduk kepadanya. Hanya dengan mewujudkan perdamaian di dalam diri masing-masing, perdamaian dan kedamaian di antara manusia dan lingkungan hidup dapat diciptakan, tanpa kedamaian internal masing-masing, tidak ada kedamaian eksternal.