- 24 Juli 2014
- Posted by: BMT Fastabiq
- Categories: Majalah Fastabiq, News, Psikologi
..Karena Harapan dan Impian akan Romantisme
“Harapan yang terlalu tinggi terhadap pasangan dan terhadap kehidupan pernikahan itu sendiri dapat menjadi bumerang bagi kelangsungan hidup perkawinan seseorang”.
”Saya sudah menikah selama dua tahun. Sebelum menikah, kami sudah menjalin hubungan dekat selama 5 tahun. Selama itu, hubungan kami sangat romantis. Satu hal, suami saya orangnya gampang sekali tersinggung. Saat sebelum menikah juga begitu tapi karena mungkin tidak bertemu setiap hari jadi tidak terlalu menjadi masalah. Saya lebih memilih untuk menghindar karena saya malas bicara kalau dia sedang tersinggung. Kami sudah dikaruniai satu orang anak. Namun sejak anak kami lahir, hubungan kami tidak romantis lagi, dia hanya seperti seorang teman bagi saya. Saya tidak lagi nyaman berada di dekatnya karena sifat yang pemarah. Saya stres harus menjalani pernikahan yang hambar ini.”
Kasus di atas adalah salah satu keluhan dari klien yang sedang mengalami problematika dalam kehidupan pernikahannya. Sebut saja Ibu NN mengaku merasa stres atas hubungannya dengan suami sehingga merasakan hambar, kesepian, bahkan merasa kurang diperhatikan suami. Mungkin, kondisi di atas tidak hanya dialami oleh Ibu NN saja. Masih banyak pasangan suami istri lainnya yang juga mengalami hal yang sama. Sebenarnya apa yang melatarbelakangi situasi tersebut?.
Sebelum saya bahas lebih lanjut, saya akan mencoba menjelaskan secara singkat tentang tugas-tugas perkembangan di usia dewasa. Manusia mengalami perkembangan dalam hidupnya. Salah satu tahapan perkembangan yang membutuhkan usaha lebih karena untuk menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan baru adalah tahapan dewasa awal yang dimulai dari usia 18 hingga 40 tahun karena pada masa ini individu diharapkan memiliki peran yang baru. Setiap tugas perkembangan hendaknya dipenuhi, termasuk tugas perkembangan pada tahapan usia dewasa awal. Menurut Erickson (salah satu tokoh psikososial) tugas perkembangan tersebut adalah kedekatan dengan orang lain (intimacy) dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri (isolation). Kedekatan pada usia dewasa awal tidak hanya dilakukan pada sesama jenis, tetapi juga lawan jenis yang pada akhirnya membentuk hubungan interpersonal dalam jangka waktu yang panjang, positif, dan bermakna. Oleh karena itu, untuk memenuhi tugas perkembangan tersebut dilakukan pernikahan.
Pernikahan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga, namun dalam sebuah hubungan, baik itu pernikahan maupun hubungan interpersonal lainnya, masalah tidak dapat dihindarkan karena pada dasarnya sebuah pernikahan terdiri dari dua orang yang mempunyai kepribadian, sifat dan karakter yang berbeda.
Banyak pasangan terlalu cepat merasa tidak puas dalam kehidupan pernikahan yang mungkin baru saja dijalani beberapa saat. Seringkali mereka tidak sadar, bahwa mereka sendirilah yang membuka peluang bagi ketidakpuasan tersebut karena sejak awal mereka sudah menaruh harapan dan impian yang terlalu tinggi baik terhadap pasangan maupun terhadap kehidupan pernikahan itu sendiri. Setelah menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya, mereka lantas merasa kecewa dan mulai menyalahkan pasangannya.
Seringkali mereka lupa, bahwa ketidakmatangan pribadi mereka sendirilah yang ikut mempengaruhi dinamika yang terjadi dalam menghadapi setiap persoalan rumah tangga. Lama-kelamaan karena masing-masing tidak berusaha untuk memperbaiki diri justru mencari hiburan dan kompensasinya sendiri, maka cinta yang menjadi pengikat di antara mereka semakin pudar. Bagaimanapun juga, jika dalam sebuah keluarga maupun pernikahan sudah tidak diwarnai oleh perasaan cinta dan afeksi terhadap pasangan, maka akan mudah sekali timbul kebosanan di antara mereka. Jika kebosanan itu tidak segera diatasi, maka lambat laun akan mempengaruhi sikap dan perilaku interaksi serta komunikasi antara pasangan tersebut. Sikap apatis, pasif atau bahkan pasif-agresif dapat menjadi indikasi adanya masalah dalam kehidupan pernikahan seseorang.
Emotional divorce banyak dialami oleh keluarga-keluarga mulai dari keluarga baru hingga keluarga yang sudah bertahun-tahun lamanya sehingga cinta kasih yang menggebu pada akhirnya padam dan menjadi dingin. Meskipun secara fisik pasangan suami istri tersebut tidak hidup secara terpisah (masih tinggal serumah), namun secara emosional sudah terdapat jarak yang membentang. Dengan pudarnya cinta di antara mereka, semakin longgarlah ikatan dan komunikasi di antara suami istri tersebut sehingga mendorong salah satu atau keduanya untuk mencari seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan, apakah itu kebutuhan emosional maupun kebutuhan fisik seperti kebutuhan seksual. Kondisi ini sama seperti yang dialami Ibu NN (kasus di atas).
Tingginya tingkat perceraian dan ketidakpuasan dalam banyak pernikahan dikarenakan kita memiliki harapan yang besar terhadap pernikahan. Kita berharap pasangan terus-menerus menjadi kekasih kita, teman, orang kepercayaan, penasehat, orang yang berkarir, dan sebagai orangtua. Dalam satu penelitian yang dilakukan Eidelson, pasangan yang tidak bahagia menunjukkan harapan yang tidak realistik tentang pernikahan. Hal yang mendasari harapan tidak realistik adalah berbagai mitos tentang pernikahan yang tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Sebenarnya, apa itu kepuasan dalam pernikahan? Kepuasaaan dalam pernikahan merupakan kesan subjektif individu terhadap komponen pernikahannya secara keseluruhan yang meliputi cinta, kebersamaan, anak, pengertian pasangan, dan standar hidup (Blood dan Wolfe, 1985).
Bagaimana arti kepuasan pernikahan bagi laki-laki dan perempuan? Bagi suami, kepuasan pernikahan baru akan terjadi jika terpenuhinya perasaan untuk dihargai, kesetiaan, dan terpenuhinya rencana terhadap masa depan. Sedangkan istri, melihat kepuasan pernikahan dari sisi terpenuhinya rasa aman secara emosional, komunikasi, dan terbinanya intimasi. Demikian pula usia dan jender telah terbukti mempengaruhi persepsi kebahagiaan pernikahan.
Pengalaman dan implikasi dari pernikahan mungkin berbeda bagi istri dan suami. Hal ini umumnya tepat dalam ekspresi keintiman. Istri secara konsisten lebih terbuka pada pasangan mereka daripada suami. Dan perempuan lebih cenderung mengekspresikan kelembutan, ketakutan, dan kesedihan dari pada pasangan mereka. Bagi sebagian besar laki-laki, mengendalikan kemarahan merupakan orientasi emosional yang umum. Keluhan umum yang disampaikan perempuan dalam suatu pernikahan adalah bahwa suami mereka tidak peduli pada kehidupan emosional mereka dan tidak mengekspresikan perasaan dan pikiran mereka sendiri. Sedangkan, perempuan sering mengeluh bahwa mereka harus membuat suami mengatakan apa yang ia rasakan dan mendorong mereka untuk terbuka. Namun, laki-laki seringkali menanggapi bahwa mereka terbuka atau tidak mengerti apa yang diinginkan istri mereka dari dirinya. Hal itu dikarenakan menjadi sesuatu yang biasa bagi laki-laki memprotes bahwa sebanyak apapun mereka berbicara, hal itu tidak akan cukup bagi istri mereka.
Di sisi lain, perempuan juga mengatakan bahwa mereka menginginkan kehangatan yang lebih banyak seperti halnya juga keterbukaan dari suami mereka. Sebagai contoh, perempuan lebih sering daripada laki-laki memberikan pasangan mereka ciuman atau pelukan spontan jika sesuatu yang positif terjadi. Secara umum, perempuan lebih ekspresif dan berperasaan daripada laki-laki dalam pernikahan, dan perbedaan ini seringkali mengganggu banyak perempuan.
Perbedaan tentang kepuasan pernikahan yang dirasakan istri maupun suami merupakan hal yang subjektif. Namun, yang terpenting adalah bagaimana cara suami istri mengkomunikasikan dan menyikapi perbedaan sehingga memperoleh solusi atas permasalahan yang dihadapi. Sebagaimana Firman Allah dalam surat An Nisa ayat 19:
“Bila kamu tidak menyukai mereka, maka (bersabar dan pertahankanlah ikatan perkawinan) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu. Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Mackey and O‟Brien (Haseley 2006) menjelaskan 5 komponen penting dalam kepuasan pernikahan, yaitu:
1. Tingkat konflik pasangan yang semakin tinggi akan mengakibatkan tingkat kepuasan pernikahan yang semakin rendah.
2. Pengambilan keputusan secara bersama-sama terutama mengenai masalah anak dan pengasuhan.
3. Komunikasi yang baik antar pasangan, seperti ketrampilan dalam mengekspresikan cinta, dukungan, dan perasaan.
4. Nilai-nilai hubungan seperti rasa saling percaya, menghargai, memahami, dan memiliki hak yang sama.
5. Intimasi (baik fisik maupun psikologis) merupakan salah satu elemen penting dalam kepuasan pernikahan yang dapat mempengaruhi kualitas kepuasan dalam pernikahan.
Faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan (Rice, 1983) adalah:
Status pekerjaan, tingkat pendidikan dan pendapatan.
Kepuasan terhadap pekerjaan.
Kesehatan mental dan fisik.
Besarnya kebersamaan untuk menghabiskan waktu luang dalam aktifitas.
Komunikasi verbal dan non verbal yang baik.
Mengekspresikan afeksi.
Adanya saling percaya antar pasangan.
Adanya perasaan nyaman terhadap harapan akan peran pasangan dalam pernikahan dan adanya peran yang fleksibel.
Mengutip dari Professor Psychology Burgess dan Locke bahwa keberhasilan suatu pernikahan dicerminkan dari bertahannya suatu keluarga memelihara komitmen bersama, kebahagiaan yang dirasakan oleh pasangan suami istri, kepuasan suami istri dalam pernikahan, kesesuaian hubungan seksual antara suami istri, kesesuaian pernikahan dengan berbagai kondisi dan keadaan keluarga, dan integrasi di antara pasangan suami istri. Hal ini menandakan bahwa kualitas pernikahan merupakan kesamaan keseluruhan perasaan yang dirasakan oleh pasangan, bukan kepuasan yang hanya dirasakan oleh sebagian dari pasangan tersebut atau perseorangan.
Di samping itu, hal yang mendasari kehidupan pernikahan adalah cinta. Kekuatan cinta dalam menjalani biduk rumah tangga sangatlah penting. Kalau kita sudah mencintai pasangan tanpa syarat maka segala masalah dapat diselesaikan dengan baik-baik. Dengan mencintai pasangan apa adanya kita dapat saling belajar apa yang dinginkan pasangan. Jika kita menginginkan suasana romantis dalam pernikahan maka kita harus mewujudkan romantisme pada pasangan. Apa yang kita harapkan, kita terapkan pada pasangan. Misalnya, di saat suami ulang tahun, kita berikan hadiah atau kejutan istimewa sehingga suami merasakan hari istimewa yang berbeda dari hari biasanya. Dengan demikian, suami akan memberikan kejutan istimewa di hari ulang tahun Anda.
Memang kita tidak dapat memaksakan pada pasangan atas apa yang kita inginkan. Untuk itu, diperlukan mencintai tanpa syarat, mencintai pasangan apa adanya tanpa atribut tertentu. Cinta itu memerlukan pemahaman tinggi atas pasangan. Dalam hal ini, diperlukan komunikasi yang baik sehingga tercipta suasana harmonis dalam rumah tangga.
Sebagaimana Firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 187:
“mereka (ister-isteri kamu) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu (wahai para suami) adalah pakaian buat mereka”.
Oleh: Dina Wahyunita, S.Psi., M.Psi., Psikolog