- 16 Desember 2014
- Posted by: BMT Fastabiq
- Category: News
MENELADANI CUCU RASULULLAH SAW
Imam Thawus bin Kaisan, ulama Yaman, pernah melihat Imam Ali Zainal Abidin cucu Ali bin Abi Thalib RA berdiri di bawah naungan Ka’bah, sedang meratap, bermunajat, dan berdoa sambil menangis.
Thawus bertanya, “Wahai cucu Rasulullah SAW, kulihat Anda dalam keadaan demikian padahal Anda memiliki tiga keutamaan yang saya kira bisa mengamankan Anda dari rasa takut.”
Ali Zainal Abidin berkata, “Apakah itu wahai Thawus?” Thawus menjawab, “Pertama, Anda adalah keturunan Rasulullah SAW. Kedua, Anda akan mendapatkan syafaat dari kakek Anda dan ketiga, rahmat Allah bagi Anda.”
Zainal Abidin berkata, “Wahai Thawus, garis keturunanku dari Rasulullah tidak menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah: “… kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu …” (QS al-Mu’minun: 101).
Ia lalu melanjutkan, “Adapun tentang syafaat kakekku, Allah SWT telah menurunkan firman-Nya: “Mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Surat al-Anbiya: 28).
Sedangkan mengenai rahmat Allah, lihatlah firman-Nya: “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat pada orang-orang yang berbuat baik.” (Surat al-A’raf: 56).
Ali Zainal Abidin gemar beribadah dan berdoa, di antara doanya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu jangan sampai ditampakkan baik dalam pandangan manusia padahal tersimpan hati yang buruk.”
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam bukunya Shaidul Khathir berkata, “Tanda orang yang ikhlas ialah jika di hadapan orang sama dengan kesendiriannya.”
Beliau seorang yang dermawan, penyabar, rendah hati, santun dalam berbicara, dan memiliki hati yang bersih. Kemuliaan nasab tidak menjadikannya sombong dan tidak merasa aman dari azab, bahkan, sering berdoa sambil menangis memohon ampunan dari Allah.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak bisa mempercepatnya.” (HR Muslim dan lainnya).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Barang siapa yang kurang amalnya, maka tidaklah bisa mencapai kedudukan orang yang banyak beramal. Sudah seharusnya seseorang tidak bersandar pada kemuliaan nasab dan keutamaan nenek moyangnya, yang menyebabkan ia tidak banyak beramal.” (Syarah Shahih Muslim).
Imam Ali Zainal Abidin rahimahullah sangat mencintai sahabat-sahabat radhiallahu anhum. “Beliau kedatangan beberapa orang tamu dari Irak, lalu mereka mendiskreditkan dan menjelekkan Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Ketika mereka selesai bicara, beliau bertanya, ”Apakah kalian termasuk kaum muhajirin yang Allah firmankan dalam surah al-Hasyr, “Mereka yang diusir dari kampung halaman dan dipaksa meninggalkan harta benda mereka, hanya karena mereka ingin memperoleh karunia Allah dan keridhaan-Nya dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Apakah kalian termasuk mereka?” Mereka menjawab, ”Bukan ….”
”Apakah kalian termasuk kaum Anshar yang dinyatakan dalam Alquran surah al-Hasyr, ‘Mereka yang tinggal di Madinah dan telah beriman kepada Allah sebelum kedatangan kaum Muhajirin. Mereka itu mencintai dan bersikap kasih sayang kepada orang-orang yang datang berhijrah kepada mereka, dan hati mereka tidak iri terhadap apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin. Bahkan, mereka lebih mengutamakan orang-orang yang hijrah daripada diri mereka sendiri, kendatipun mereka berada dalam kesusahan?”
”Bukan …!” jawab mereka. Lalu beliau berkata, “Kalian sudah mengakui bukan termasuk ke dalam salah satu dari kedua golongan tadi. Aku bersaksi kalian pasti bukanlah orang yang dimaksud dalam firman Allah, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (Surah al-Hasyr:10). Maka keluarlah kalian dari rumahku, semoga Allah membalas keburukan kalian.” (Shifatu Ash Shafwah, juz 1 halaman 387).