- 25 Juli 2014
- Posted by: BMT Fastabiq
- Categories: Majalah Fastabiq, News, Psikologi

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
“Bu Dina, saya ingin konsultasi.
Saya seorang ibu bekerja dari dua orangtua. Anak pertama SD kelas satu dan anak kedua TK. Saya dan suami bukan tipe orangtua yang sabar. Jika mereka melakukan kesalahan dengan tak sabar mereka kami jewer, cubit, dan terkadang teriakan amarah. Kami tahu hal itu tidak benar, sehingga kami berusaha melatih kesabaran dan mencoba memberikan pengertian. Tetapi anak menjadi senang membantah dan marah jika dilarang. Bagaimana kami bersikap untuk mengoreksi kesalahan kami?
Terima kasih atas jawaban Bu Dina.”
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
(Ibu Marta – Pati)
Jawaban:
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semoga lindungan Allah SWT menyertai Ibu dan keluarga. Aamiin.
Ibu Marta yang baik, saya memahami jika menjadi orangtua bukanlah suatu tugas dan peran yang mudah. Terlebih jarak usia antara kedua anak Ibu cukup dekat sehingga akan membutuhkan ekstra energi dan konsentrasi yang harus dibagi. Sebelumnya saya akan menguraikan tentang kondisi putra-putri Ibu. Anak pertama yang memasuki SD membutuhkan perhatian dari orangtua karena anak baru belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru, yaitu peralihan dari TK ke SD. Selama ini, anak pertama sudah merasa perhatian dan kasih sayang kedua orangtuanya juga terbagi dengan adiknya. Demikian pula dengan anak kedua yang membutuhkan ekstra perhatian dari kedua orangtua. Sedangkan, respon yang diberikan kedua orangtua tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Sebagaimana yang telah Ibu ungkapkan jika ibu dan suami sering memberikan perlakuan yang keras untuk menyikapi kesalahan anak, seperti menjewer, mencubit, dan berteriak. Kondisi ini jika tidak segera diperbaiki maka akan memberikan dampak negatif dan mengganggu psikologis anak, yaitu munculnya perasaan sibling, agresif, trauma, bahkan depresi.
Keluarga merupakan benih akal penyusunan kematangan individu dan struktur kepribadian. Anak-anak mengikuti orang tua dan berbagai kebiasaan dan perilaku sehingga keluarga adalah elemen pendidikan lain yang paling nyata, tepat dan sangat besar pengaruhnya. Orangtua dan anak memiliki hubungan yang unik di mana keduanya bisa saling memicu kemarahan bahkan untuk hal yang sangat sepele. Tidak jarang kita sebagai orang dewasa bertindak irasional jika sudah menghadapi anak, bahkan membuat kita berperilaku kekanakan. Begitu pula halnya dengan anak kita. Mereka sering berperilaku seolah menguji kesabaran kita. Dalam ilmu Psikologi, fenomena ini biasa disebut dengan istilah “ghosts in the nursery,” yaitu anak membangkitkan perasaan kemarahan yang terpendam dari masa kanak-kanak kita, dan membuat kita secara tidak sadar berespon sedemikian rupa untuk menghadapi kemarahan itu.
Dalam kondisi demikian, sebagian orangtua terkadang memvonis dirinya sebagai orangtua yang tidak sabaran atau emosional. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah bukan orangtua yang tidak sabaran atau emosional, tapi karena orangtua belum dapat menghentikkan perbuatan buruk anak. Dikarenakan sebagian orangtua belum mengetahui cara untuk menghentikkan perbuatan buruk anak maka orangtua terus terjebak melakukan kekerasan pada anak.
Respon orangtua terhadap kesalahan anak, disadari atau tidak, sering menggunakan kekerasan fisik maupun non fisik sebagai bentuk hukuman. Kekerasan fisik dilakukan dengan memberi rasa sakit pada tubuh anak agar anak jera. Kekerasan non fisik dilakukan dengan cara memberi anak rasa takut dan ketidaknyamanan pada anak. Ancaman dan kekerasan verbal seringkali digunakan sebagai cara mendidik anak dan digunakan sebagai sarana efektif bagi orangtua untuk meraih kewibawaan dan kekuatan dari rasa takut anak. Banyak orangtua beranggapan bahwa ketakutan anak pada hukuman fisik akan berdampak pada sikap anak sehingga mudah dikendalikan dan tunduk pada keinginan orangtua. Namun pada kenyataanya, anggapan itu berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi. Justru, perilaku demikian membuat anak mengalami trauma psikologis yang jika tidak segera ditangani dampaknya akan berkepanjangan.
Bagi anak, kemarahan dapat menjadi hal yang sangat menakutkan. Kekerasan verbal yang terjadi saat kita berbicara keras atau membentak anak akan berdampak negatif pada kepribadian anak, terutama karena anak sangat bergantung pada orangtuanya dalam hal pembentukan konsep dirinya. Anak yang mengalami kekerasan fisik seperti dipukul, terbukti menunjukkan perilaku negatif dikemudian hari sebagai dampak dari kekerasan fisik yang pernah dialami sebelumnya. Bila anak Ibu tidak terlihat takut pada kemarahan Ibu, hal itu merupakan indikasi bahwa anak sudah terlalu sering melihatnya dan sudah membangun usaha pertahanan diri untuk melawannya, yaitu dengan cara melawan orangtuanya. Hasilnya adalah anak akan semakin tidak berminat untuk berperilaku positif yang dapat menyenangkan hati orangtua, dan akan membuka dirinya ke luar sehingga lebih mudah terpengaruh oleh teman-temannya dan juga dunia luar. Hal itu berarti, Ibu dan suami memiliki tugas yang lebih berat untuk memperbaiki kondisi tersebut. Semakin sering kita marah pada anak, maka anak akan semakin defensif dan semakin sulit mengungkapkan perasaannya.
Kemarahan dan kekerasan fisik yang Ibu dan suami lakukan tentunya tidak hanya akan menyakiti anak, tapi juga akan dicontoh oleh anak karena anak akan lebih mudah dan cepat belajar mengamati dan meniru dari apa yang dilihatnya. Anak akan sering melihat orangtua marah, dan cara Ibu mengatasi situasi itu akan dilihat dan ditiru oleh anak. Perkataan dan perilaku orang-orang yang ada di sekitarnya memiliki peran penting dalam proses perkembangan sosioemosional anak.
Secara psikologis, kekerasan yang digunakan dalam mendidik anak akan menjadi kontra-produktif karena ada beberapa hal negatif yang timbul sebagai reaksi dari kekerasan yang anak dapatkan, yaitu:
Pertama, kebencian. Anak akan menjadi tidak mudah berkomunikasi dengan orangtua dan berusaha untuk selalu menghindar.
Kedua, dendam. Secara negatif, dendam akan memicu anak untuk melakukan kekerasan yang sama kepada orangtua bila memiliki kesempatan atau akan melampiaskannya kepada orang lain.
Ketiga, pemberontakan. Mendidik anak dengan kekerasan, bukan membuatnya akan menuruti keinginan orangtua, tapi anak biasanya akan menentang dan melakukan hal yang berlawanan dari kehendak orangtuanya.
Keempat, trauma. Anak akan menjadi pendiam dan bersikap defensif akibat kekerasan yang dideritanya.
Seperti uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan orangtua kepada anak menjadi faktor penyebab anak menjadi suka membantah dan marah jika dilarang. Alhamdulillah Ibu dan suami juga menyadari bahwa tindakan yang Ibu dan suami lakukan pada anak merupakan tindakan yang salah.
Berikut ada beberapa tips yang dapat orangtua lakukan untuk mengontrol emosi dalam menghadapi kesalahan anak:
1. Bersikap Tenang
Kunci meredakan teriakan anak adalah bersikap tenang dan tidak perlu tergesa-gesa. Orangtua yang nampak gelisah atau memendam kemarahan tentu akan sulit menerima kondisi anak yang juga sedang tidak nyaman dengan perasaannya sendiri. Anak membutuhkan figur yang tenang dan mampu mengendalikan emosinya ketika mendekati anak. Latihan bagi para orangtua untuk mencapai ketenangan adalah dengan melakukan relaksasi. Untuk terapi relaksasi dapat dilakukan lebih lanjut di klinik layanan Psikologi RS. Fastabiq Sehat.
2. Komitmen
Orangtua berkomitmen untuk bersama-sama merubah perilaku dalam menyikapi kesalahan yang dilakukan anak. Perilaku seperti menjewer, mencubit, dan berteriak pada anak termasuk salah satu tindak kekerasan pada anak. Apapun alasanya, hal itu sangat tidak dibenarkan. Jadi mulai sekarang, buatlah komitmen untuk tidak memukul, tidak mencubit, tidak membentak, atau tidak memberikan hukuman apa pun di saat kita sedang marah.
3. Mendengarakan Kemarahan, Bukan Melampiaskannya
Sumber kemarahan dapat berasal dari rasa kesal terhadap pasangan, teman kerja, atau kita tidak memahami apa sebenarnya penyebab kemarahan kita. Dalam kondisi ini, kita perlu mencari bantuan untuk mengatasinya melalui tenaga profesional atau psikolog. Jika Anda harus terus-menerus berusaha untuk menahan marah, mungkin Anda membutuhkan bantuan Psikolog untuk mendeteksi dan mengatasi sikap emosional yang dialami. Tidak ada salahnya dan tidak perlu malu untuk mencari bantuan daripada sikap kita dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan psikologis anak.
4. Hindari Kekerasan dalam Bentuk Apapun
Lakukan apa pun yang Anda mampu untuk mengendalikan diri, termasuk meninggalkan ruangan tempat Anda marah. Bila Anda tidak dapat mengendalikan diri dan akhirnya memukul, mintalah maaf pada anak Anda, katakan padanya bahwa memukul itu salah dan tidak dapat dibenarkan.
5. Berkomunikasi dengan Anak
Terkadang kita sebagai orang dewasa kurang memahami kondisi yang dialami anak, bahkan memaksakan kehendak orangtua kepada anak. Mulailah untuk memperbaiki komunikasi dengan anak, seperti menanyakan tentang teman-temannya di sekolah, kegiatan yang dilakukan, atau hal-hal yang disenangi anak. Dengarkan ketika anak bercerita atau mengungkapkan perasaannya kemudian respon dengan memberikan kata-kata atau perilaku yang positif. Sikap ini akan membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan harga diri pada anak.
6. Menerapkan Disiplin BUKAN Hukuman
Disiplin yang bermakna memberikan pengertian dalam hidup, merupakan kata kunci bagi anak untuk belajar dari kesalahannya. Sebab, disiplin memiliki empat kelebihan dibandingkan dengan hukuman, yaitu dapat menunjukkan anak tentang perbuatan salah yang dilakukannya, membuatnya memahami kesalahan, memberikannya jalan untuk penyelesaian, dan menjaga harga diri anak. Berbeda dengan hukuman yang cenderung akan menjatuhkan harga diri anak. Cara mendisiplinkan anak dapat dimulai dengan menentukan batasan atau aturan di keluarga sebelum terjadi hal-hal yang di luar kendali.
7. Memahami Anak Sebagai Pribadi yang Berkembang
Setiap anak mempunyai tahapan demi tahapan dalam berkembang. Sudah tentu, tahapan perkembangan anak sangat berbeda dengan cara berpikir dan memahami segala sesuatu yang dimiliki orangtuanya. Dalam hal ini, orangtua tidak bisa memaksakan kehendak terhadap anaknya agar mengikuti cara berpikir dan memahami sesuatu sebagaimana orangtuanya. Jika memang orangtuanya menghendaki sang anak melakukan apa yang menjadi harapannya hendaknya disesuaikan dengan tahapan perkembangan sang anak.
8. Ciptakan Suasana Rumah yang Nyaman
Orang tua harus dapat menciptakan suasana keluarga yang damai dan tentram dan mencurahkan kasih sayang yang penuh terhadap anak-anaknya, meluangkan waktunya untuk sering berkumpul dengan keluarga, mengawasi proses-proses pendidikan anak dan melakukan tugas masing-masing ayah dan ibu.
Dapat di ambil kesimpulan bahwa pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan awal bagi anak karena pertama kalinya mereka mengenal dunia terlahir dalam lingkungan keluarga dan dididik oleh orang tua. Sehingga pengalaman masa anak-anak merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan selanjutnya, keteladanan orang tua dalam tindakan sehari-hari akan menjadi tempat pendidikan moral bagi anak, membentuk anak sebagai makhluk sosial, religius, untuk menciptakan kondisi yang dapat menumbuhkembangkan inisiatif dan kreativitas anak.
Namun, hal penting yang harus dipahami adalah mengatasi masalah yang satu dengan yang lainnya tidak jarang dibutuhkan pendekatan yang berbeda karena jenis dan penyebab masalahnya pun berbeda. Untuk penjelasan lebih lengkap dan diupayakan untuk dilakukan penanganan lebih lanjut, silahkan Ibu mengkonsultasikannya dengan Psikolog di RS Fastabiq Sehat.
Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi Ibu agar anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang secara menyenangkan dan sesuai dengan harapan orangtua dan keluarga.
Salam keluarga bahagia.