- 15 Februari 2016
- Posted by: BMT Fastabiq
- Category: News
Menurut sebagian pakar, ikhlas bermakna shafa’ (bening), dari perkataan shafa ‘al-qalb (beningnya hati) lantaran orang ikhlas adalah orang yang hatinya bening atau bersih.
Menurut Imam Ghazali, ikhlas bermakna shidq-u al-niyyah fi al-‘amal (niat yang benar dalam bekerja atau beribadah). Ini berarti, setiap amal dan kebaikan haruslah dilakukan karena Allah SWT.
Tanpa ketulusan, maka semua kebaikan yang kita lakukan, selain tidak sejati, juga terancam penyakit hati yang sangat berbahaya, yaitu riya’ (pamrih) dan syirik. Orang yang tulus pada hakikatnya adalah orang yang diselamatkan oleh Allah dari dua penyakit itu: riya’ dan syirik.
Dalam konteks inilah Ghazali berkata, ”Semua manusia celaka, kecuali orang-orang yang berilmu. Para ilmuwan inipun celaka, kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya. Dan yang disebutkan terakhir inipun celaka, kecuali mereka yang tulus ikhlas.”
Berbeda dengan manusia pada umumnya, orang yang tulus memiliki ciri-ciri yang khas. Pertama, mereka tidak terpengaruh oleh pujian dan cercaan manusia. Bagi mereka pujian atau cercaan sama saja. Oleh sebab itu, orang yang masih suka dipuja dan takut dicerca, pastilah ia bukan tipe orang yang ikhlas.
Kedua, mereka tidak berharap imbalan apa pun (pamrih) dari amal kebaikan yang mereka lakukan, selain mengharap perkenan dan ridha Tuhan. Dari sini diketahui bahwa orang yang bekerja dan beribadah karena motif-motif dan kepentingan duniawi, seperti mencari muka dan popularitas, serta demi pangkat dan kedudukan, maka ia sama sekali bukan orang ikhlas. Dalam hadis Bukhari diterangkan bahwa orang semacam itu akan menyesal dan nelangsa, lantaran tidak memperoleh kebaikan apa pun di akhirat kelak.
Ketiga, mereka lupa dan tidak ingat lagi semua kebaikan yang pernah dilakukan. Orang yang selalu menuturkan kebaikannya apalagi disertai cercaan (al-mannu wa al-adza) kepada orang yang pernah diberinya bantuan, sungguh ia jauh dari orang ikhlas.
Sabda Nabi SAW yang menyuruh agar kita memberi sedekah secara diam-diam, jauh dari gembar-gembor, ibarat tangan kanan memberi, tapi tangan kiri tidak mengetahuinya, tentulah hanya bisa dimengerti dalam konteks ikhlas ini. Semoga kita ikhlas beramal, bukan beramal seikhlasnya! Wallahu a’lam.