- 25 April 2016
- Posted by: BMT Fastabiq
- Category: News
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000 – 2005, Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa Indonesia butuh sosok petarung, pejuang, untuk menjadi pemimpin, baik di negara, provinsi, dan kabupaten/kota bahkan di bawah-bawahnya. Hal tersebut disampaikan Buya Syafii dalam launching Buku berjudul ‘Resonansi Kepemimpinan Transformatif Kang Yoto’ karya Cahyo Suryanto di Grahatma Semesta, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (23/4).
“Bangsa Indonesia akan rugi kalau orang seperti dia tidak dapat tempat untuk memimpin. Kang Yoto bagi saya adalah salah satu petarung itu” ujar Guru Besar UNY ini.
Buku tersebut diterbitkan oleh UID (United In Diversity), Grahatma Semesta dan Expose Publishing Group Mizan Publika.
Lebih lanjut, Buya Syafii Maarif meyakinkan bahwa Kang Yoto sangat layak sebagai pemimpin dengan melihat kinerjanya selama menjadi Bupati Bojonegoro. “Kang Yoto itu orang yang bagus, dan saya yakin kapasitas dan kompetensinya tidak kalah dengan pemimpin-pemimpin di daerah atau provinsi lain di Indonesia. Hanya saja kenapa jarang kita mendengar Kang Yoto, ya karena minimnya pemberitaan media, dia jarang diekspos kinerjanya” ungkap Buya Syafi’i.
Kang Yoto adalah panggilan akrab Drs. H. Suyoto, M.Si, sosok Bupati Kabupaten Bojonegoro yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah Bojonegoro. Sosok Kang Yoto tentu amat familiar dengan telinga masyarakat Bojonegoro karena kepemimpinannya yang oleh sebagian besar masyarakat dinilai sukses. Sebelum menjabat sebagai Bupati Bojonegoro selama 2 periode ini, beliau adalah dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan juga pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG).
“Saya kenal dia sudah lama. Sekitar tahun 2000, dan dia juga adalah salah seoranv yang mendukung lahirnya Ma’arif Institute. Dia itu asli orang Muhammadiyah, bukan orang birokrasi, tapi dia juga manajer, seniman pula. Semua ada di dirinya”, tambah Buya Syafi’i.
Buya mengaku mengenal Kang Yoto sudah sejak sejak awal tahun 2000-an. Kang Yoto juga yang turut mendorong berdirinya Ma’arif Institute.
“Dia itu sub kulturnya Muhammadiyah. Dia bukan seorang birokrat, tapi seorang manajer dan juga seniman. Semua menyatu dan ada,” jelas Buya